Thursday 7 January 2016

Apakah Sendiri itu Lebih Baik?

Hakikatnya kehidupan manusia memang tidak pernah mudah
Sehingga bisa dipastikan bahwa kita pasti membutuhkan orang lain
Beberapa hal bisa kita kerjakan sendiri
Namun, beberapa orang karena terlalu seringnya melibatkan orang lain dalam setiap aktivitasnya akhirnya ketergantungan
Dan yang paling buruk dari fase ini adalah menggantungkan harapan
Harapan bahwa ia bisa melengkapi; alih-alih menggenapkan

Lupa bahwa manusia merupakan kasta tertinggi yang dapat melakukan apapun, termasuk mematahkan yang maha rapuh; Perasaan.

Monday 14 December 2015

Salam Mahasiswa Tingkat Akhir

Tes......

Oh ternyata blog gue masih bisa. 
Oke gue nyampah boleh lah ya.
Sumpah ini ke log in otomatis....
Sumpah gue tidak mengerti, ini ketidaksengajaan gue bisa masuk ke sini.
Padahal laptop gue baru, kalau laptop lama sih wajar ke log in otomatis karena remember password.
Ya sudahlah.
Mungkin sekarang setan-setan telah menjelma ke dunia virtual.
Wallahu'alam.

Hello my virtual diary, fase alay (sekarang masih alay juga sih tapi gue pastikan berkurang.... sedikit)
Ya sudahlah, orang berkembang kan ya wajarlah pernah alay (melakukan pembenaran, membela diri, basi lo, Yu)
Gue kini adalah mahasiswa semester akhir, Bro. Skripsi lalalalalalalalala, jodoh? HIKSHIKSHIKSHIKSHIKS. 

TIGA TAHUN YA BRO SEMENJAK TULISAN TERAKHIR GUE. TIGA TAHUN BROOOOOOOO.
IT MEANS TIGA TAHUN UPAYA MOVE ON GUE BERHA........ GAGAL?


Berhasil lah ya, inget sih ya kadang-kadang. Kan gue tidak amnesia jadi ya inget ya wajar.
Lagian juga sih, kadang diajak nostalgia kan kadang jadi baper (nyalahin mantan mulu lo, Yu. Lah tapi emang bener sih)

Akhir kata, selamat malam.

Monday 24 September 2012

For The Last Time #1

Kamu masih ingat pertama kali kita bertemu? Kita pertama bertemu di tempat les. Pertama kali aku melihat nama kamu terpampang di kertas daftar teman sekelasku. Nama kamu aneh, itu pikiran aku pertama kalinya. Kamu ingat tanggal 22 November 2011? Breaking Dawn, XXI Living WorldAda sebuah rencana gagal yang menghasilkan suatu pertemuan yang tidak terduga. Kamu ingat pertama kali kita makan bareng? KFC, sehabis kita berdua pulang dari les. Kita membicarakan suatu 'masalah'. Masalah pertama kita di awal kita dekat. Kamu ingat kapan dan mengapa pertama kali hubungan kita rancu? ........ Kamu ingat kali kedua kita pergi ke bioskop? Tin Tin? Hari Jum'at. Yang siangnya hujan, namun ketika sore mendadak cerah lalu jadwal kita tak terganggu. Kamu ingat foto latar belakang biru tua yang jadi kesukaanku? Kita berfoto di studio foto sehabis menonton Tin Tin. Kamu masih ingat pose kita, kan?  Kamu ingat kenapa aku memanggil kamu freak? Mas mas jawa mata sayu? Sifat kamu. Pecinta catur. Oh bukan pecinta namun kecanduan. Mata kamu. Mata sayu yang teduh itu. Kamu ingat kamu sering 'ngecengin' aku pake kata-kata "emang mau banget ya?". Aku lantas tak segan-segan mencubit lengan kamu sampai kamu mengaduh dan aku tertawa. Kamu ingat waktu kita kejar-kejaran di parkiran les? Masalah sepele. Kita sangat sering bertengkar seperti anak kecil dan lantas kita berkejar-kejaran di parkiran les. Kamu ingat ketika les kita sering duduk berdekatan? Entah kebetulan atau apa. Sering sekali tempat duduk kita berdekatan. Kamu ingat Taman Kota? Di siang hari terik. Kamu ingat saat santai sehabis les TOEFL di hari Minggu? Suatu Minggu kita pernah duduk berbincang-bincang di kursi panjang di bawah kelas kita. Setelah itu kita sempatkan membeli es krim di minimarket dan kembali ke kursi panjang itu lalu memakan es krim itu bersama. Kamu ingat film ketiga kita? Mission Impossible.

Lalu ingat pulakah saat Tahun Baru 2012? Kita berangkat pergi ke KFC Alam Sutera pukul setengah delapan malam. Aku masih ingat, kamu memakai kaos putih. Aku sabar mendengarkan kamu bercerita tentang hobimu. Dua jam mendengarkan kamu lalu kita berbincang tentang 'kita' namun akhirnya tak ada yang berubah. Hubungan kita tetap rancu. Kamu ingat Harmoni-Padi? Kamu ingat terompet kuning biru? Hubungan kita masih rancu setelah acara Tahun Baru. Kamu ingat valentine? Ingat toples kotak berisi coklat, boneka Shaun The Sheep, replika satu laki-laki dan satu perempuan yang aku taruh di toples berbentuk hati. Ohya! Ada juga surat yang aku selipkan di tas kertas bergambar Angry Bird.Hubungan itu terus berjalan. Hingga Minggu, 04 Maret 2012. Lagi lagi KFC Alam Sutera, sepulang kita les. Status hubungan kita berubah. Dufan, seminggu sebelum UAN. Berangkat setengah delapan dari Terminal Kali Deres. Nyasar. Akhirnya naik taksi. Pulangnya lebih heboh! Busway penuh sesak, dan seseorang menganggap kita suami istri. Lagu 'Kemesraan Ini' mengiring perjalanan kita di busway. Rumah kamu. Makan bakso. Oh ya. Kamu ingat Time Zone Lippo Karawaci? Ingat tidak permainan apa yang membuat aku sebal? Hey! Ini kali terakhir kita bertemu sebelum kamu berangkat ke Bandung. Karikatur itu. Binder biru, kita berdua menangis sebelum akhirnya berpisah dan hubungan kita terhenti saat itu juga.

Yang terpenting.... Kamu masih ingat kata-kata terakhir kamu sebelum kamu berangkat ke Bandung? Pesan singkat kamu yang ada di handphoneku. Yang masih aku simpan.

Kamu kembali dari Bandung setelah hampir dua bulan kita terpisah. Hubungan ini kembali rancu. Kamu ingat ketika aku memberimu Jersey Arsenal? Kita kembali dekat. Menempuh usaha menuju perguruan tinggi, kita jatuh bersama, kita cemas bersama, usaha bersama. Pergi ke bank bersama. Lalu bolak balik ke UNJ dengan berbekal pengetahuan minim tentang Jakarta sampai akhirnya kita nyasar bersama. Sumpeknya keadaan bis kota, asap asap panas terik Jakarta, kita berdua. Sesekali bercanda di bis kota. 

Ingat ketika aku 'berdarah'? ketika motor kamu mogok dan aku berusaha datang membantumu.

Perjuangan bersama terhenti sampai takdir menyangkutkan aku di Semarang. Tinggal kamu, namun aku masih ada.

Road to Yogyakarta! Ingat pertama kali kamu bertandang ke rumahku? Kamu adalah lelaki pertama yang berani aku tunjukkan raganya di rumahku. Ingat ekspresi mukaku ketika aku tidur di jarak yang tak jauh dari tempat dudukmu? Karena aku mengingat ekspresi mukamu ketika kamu tidur. Sungguh. Rasanya aku waktu berhenti saat itu juga.  Dufan. Kamu ingat Dufan kita kali kedua? Dufan punya kita, anggap saja. Permainan kita lahap habis, berulang-ulang. Ingat kali ketika aku mengungkapkan keinginanku? Aku mengucapkannya dengan cepat lalu aku berlari menahan tangis. Perjalanan pulang kite bertemankan hujan di bis kota yang sesak. Beriring lagu "....... Namun yang pasti terjadi, kita mungkin tak bersama lagi..." Seketika aku sadar, ini mungkin perpisahan kita sebelum aku pergi Semarang. Ingat ketika suatu siang saat suasana puasa? Motor kamu mogok! Kita berdua mendorong. Mukamu pucat menahan dahaga. Aku nampak tolol dan merasa bersalah ketika aku tak bisa membantumu menunjukkan arah yang tepat di mana bengkel berada. Maaf... Aku hanya bisa membantumu mendorong sampai akhirnya mesin motor itu kembali menyala.

Ingat kali terakhir kita bertemu? Malam terakhir sebelum esoknya aku pergi menuju jalan masa depanku di Semarang. Saat itu pula aku dapat merasakan pelukan bahagiamu ketika kamu bersama-sama dengan aku melihat bahwa namamu ada di Jogja. Masa depan kamu ada di Jogja. 

Bersambung......

Tuesday 21 August 2012

#Cerpen 6: "Katamu Semua Sudah Tak Berarti..."

"Tapi kini tak mungkin lagi, katamu semua sudah tak berarti.... 
Satu jam saja.. Itu pun tak mungkin, tak mungkin lagi.."

Satu Jam Saja - Audy

   Ara terpaku saat lantunan lagu itu berada tepat di lirik itu. Refleks Ara memandang langit-langit kamarnya. Sunyi malam saat itu. Tak heran karena waktu kala itu menunjukkan pukul 23.30 WIB. Ara merasa berat meninggalkan kamarnya, kamar yang menjadi saksi bisu semua keluh kesah Ara selama ini. Termasuk keluh kesah Ara tentang sekolah, orangtua, dan lain-lain. Termasuk tentang Dika.
  Refleks kenangan tentang Dika teringat lagi. Seakan menemukan mesin waktu, Ara ingat betul semua detail kejadian Ara bersama Dika. Ara kembali ke masa ketika Ara sedang bersama Dika di Dufan.

7 Agustus 2012

"Ka liat deh!!!! Dufan sepi banget hari ini hahaha"
"Iya nih hehe tanpa antrian kayaknya nanti haha"

   Dufan. Hari ini mereka ada di Dufan. Dufan nampak sepi hari itu. Yah tentu saja karena hari itu orang-orang masih melakukan ibadah puasa dan hari itu hari kerja. 

   Ara dan Dika menjajal satu persatu wahana di Dufan. Halilintar, Kicir-kicir, Alap-alap, Rajawali. Ah, hampir semuanya mereka jajal tanpa ada antrian yang berarti. Ara merasa sangat senang bisa menghabiskan waktu berdua bersama Dika di Dufan. Hanya berdua. Sebut saja itu sebagai perpisahan, karena sebentar lagi Ara akan.... Pergi ke Semarang untuk melanjutkan kuliahnya.

"Ka.... Aku mau naik ontang-anting yuuuuuuk" Pinta Ara.

   Dika pun mengiyakan, Ara dan Dika duduk berdekatan, Ara berada sedikit di depan Dika. Mesin ontang-anting pun memulai putarannya, bukannya fokus pandangan ke depan, Ara justru menengokkan kepalanya sedikit ke belakang supaya bisa melihat wajah Dika. Dika pun juga balas melihat Ara. Mesin ontang-anting itu berputar dan mereka tertawa, bercanda. Mereka tak peduli kalaupun suara mereka membuat kegaduhan, Ara tak peduli. Yang Ara tau, Ara harus memanfaatkan hari itu sepuasnya bersama Dika. 
   Saat mesin ontang-anting itu berputar, mereka bercanda, lalu mereka iseng membentangkan tangan mereka, Ara membentangkan tangan kirinya, sedangkan Dika membentangkan tangan kanannya, mereka mencoba berpegangan, namun tak sampai, tangan itu tidak pernah berhasil berpegangan saat ontang-anting itu berputar meski mereka mencoba berkali-kali...........
   Setelah puas menaiki ontang-anting, Ara dan Dika menyusuri kembali jalanan di Dufan, mencari-cari lagi wahana apa yang mereka ingin naiki lagi. Ara tidak mau waktunya sia-sia lalu Ara memilih jujur akan perasaannya pada hari itu juga.

"Ka.. Aku mau ngomomg sesuatu.."
"Apa?"
"Tapi aku malu, Ka.."
"Kan aku bilang, frontal aja sih sama aku. Gapapa. Mau ngomong apa, Ra?"
"Hm.... Gini aja deh. Aku bilangnya cepet-cepet ya, habis itu aku langsung lari, terus kamu juga ga boleh komentar tentang apa yang bakal aku bilang ke kamu. Kamu cukup dengerin, aku ga mau denger komentar dari kamu. Yah?"
"Iya, Araaa"
"Hm.... Aku mau...."
"Mau apa, Ra?"
"Kita balikan!" Ara mengucapkan kalimat itu sangat cepat lalu Ara berlari meninggalkan Dika. Ara malu. Namun Ara puas karena telah menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. 4 bulan sudah berlalu sejak hubungan mereka kandas dan Ara memang ingin memulainya lagi. Namun Ara tau Dika tak akan mau. Dika terlalu pemikir. Apalagi yang bukan dia pikirkan kalau bukan 'jarak'. 
   Dika mengejar Ara lalu menggapai tangan Ara. Mereka terdiam sebentar lalu Dika memulai percakapan lagi.

"Ra...."
"Apa?"
"Aku mau jawab omongan kamu tadi, boleh?"
"Ga boleh! Aku ga pernah mau denger. Intinya sebuah penolakan, kan? Aku ga mau denger. Kan dari awal aku udah bilang aku ga mau kamu komentar karena aku udah tau apa jawaban kamu"
"Ra... Kamu tau kan nanti kita bakal jauh? Kamu di Semarang terus aku di...."
"CUKUP! Berhenti ga? Aku ga pernah mau denger!" Lalu Dika pun diam sejenak dan mengajak Ara membicarakan akan hal lain yang tidak berhubungan dengan hal tadi. 

   Lembap. Mata Ara lembap. Butiran halus itu memaksa keluar namun Ara tahan.

 Hari beranjak meninggalkan sore, membiarkan matahari tenggelam dan memanggil bintang untuk menggantikannya. Hari sudah mulai gelap, Ara dan Dika bergegas pulang.
  Ara dan Dika pulang dengan menaiki Bus. Bus penuh sesak malam itu, namun beruntung Ara dan Dika masih mendapatkan kursi untuk mereka duduki. Mereka duduk berdampingan di barisan agak depan Bus itu. Ara mengambil posisi di samping jendela sedangkan Dika duduk tepat di sebelah kiri Ara. Malam itu hujan. Dika tak berbicara sepatah katapun di perjalanan pulang, Dika terlalu lelah seharian berada di Dufan.
  Seperti Bus pada biasanya, pengamen silih berganti memasuki Bus yang penuh sesak itu. Awalnya Ara cuek akan kedatangan pengamen itu, namun seketika kecuekan Ara melunak ketika salah satu pengamen memetik gitarnya dan lantas menyanyikan lagu Demi Cinta - Kerispatih.

"Namun yang pasti terjadi.... Kita mungkin tak bersama lagi..."

   Sontak Dika menyenggol bahu Ara, memberi isyarat bahwa lagu itu cocok untuk mereka. Ara menoleh sekilas lalu Ara cepat-cepat mengalihkan pandangan Ara ke kaca jendela. Ara pura-pura cuek atas senggolan bahu Dika. Ara tidak mau Dika melihat air mata Ara yang perlahan turun.

"Ka, kalo aku udah di Semarang, kita ga bisa tetep kayak gini ya?"
"Gini gimana?"
"Ya begini aja......"
"Gak mungkin, Ra.. Kamu jauh.."

Wednesday 11 July 2012

#Cerpen 5: Class! I'm In Love


Ara memeriksa kembali tasnya, memeriksa lagi apakah masih ada buku yang tertinggal atau tidak. Ara melirik jam dinding di kamarnya, pukul 4 sore sekarang. “Ah biarkan saja pria aneh itu menunggu”. Lalu setelah Ara mempersiapkan keperluan Ara yang lain, sekitar 5 menit kemudian Ara telah siap berangkat ke tempat lesnya. Ara menyambar tasnya dan pamit ke Ibunya. Ara belum bisa mengendarai sepeda motor jadi dia berangkat menggunakan angkutan umum. Rumah Ara terletak di dalam komplek perumahan, perlu berjalan terlebih dahulu sekitar 5 menit untuk dapat bertemu dengan jalan raya dan lalu menaiki angkutan umum. Angkutan umum penuh sesak saat itu, membuat Ara merasa kesusahan bernafas. Sejujurnya Ara sangat lelah, Ara baru saja pulang sekolah jam 3.30 tadi dan sekarang? Dia sudah harus berangkat ke tempat lesnya, padahal seharusnya dia tidak ada jadwal hari ini. Tapi karena pria aneh itu memintanya, dia dengan terpaksa berangkat.

“Ah dasar pria aneh, baru saja kenal sudah langsung meminta aku untuk menemani dia konsul matematika” Pikir Ara dalam hati.

Perjalanan memakan waktu sekitar 10 menit. Pintu tempat les Ara yang transparan membuat Ara bisa melihat ke dalam tempat les itu sebelum Ara masuk. Ara menghentikan angkutan umum yang Ia tumpangi tepat di depan parkiran tempat les Ara. Benar saja, dari tempat Ara turun, nampak pria aneh itu sudah terlebih dahulu datang. Pria itu mengenakan kaos putih serta bawahan celana ¾ berwarna biru ketuaan. Dia sedang duduk di kursi panjang biru yang terletak di dalam tempat les, dekat dengan pintu masuk. Di depannya terdapat meja tempat Ia menaruh tas birunya. Lalu Ara masuk dan menyapanya dengan agak malas

“Mana gurunya?” tanya Ara
“Tuh” Ia menunjuk guru matematika yang akan mengajari mereka.
“Oke, masuk lah cepet. Kak, ayo mulai sekarang aja konsulnya” ajak Ara.

Lalu Ara, Dika dan guru mereka berjalan menuju ruangan konsul di tempat les itu. Ya, pria aneh yang daritadi dimaksud itu bernama Dika. Dika, kenapa Ara lebih suka menyebut dia dengan sebutan pria aneh? Karena di mata Ara, pria itu memang aneh. Pria itu selalu terlihat sok tau ketika di kelas saat les, dia juga seperti mempunyai dunianya sendiri, berbeda dengan lelaki lain. Ara sendiri membenci beberapa sifat pria itu, namun entah apa yang membuat Ara mau saja mengiyakan ajakannya sehingga sekarang ini Ara dan Dika bersama-sama berada di ruangan konsul itu dengan guru matematika mereka.


Ara tidak mau hanya menemani Dika konsul saja, Ara tak mau membuang waktu maka Ara pun juga menyodorkan soal yang Ia belum mengerti. Guru Matematika Ara dan Dika duduk di antara Ara dan Dika sehingga terlihat adil. Konsul berlangsung sekitar 30 menit saja. Ara dan Dika sama-sama telah lelah melihat angka-angka di materi Integral. Lalu guru mereka pun keluar, tinggalah Ara dan Dika di ruangan itu. Ara hampir saja pulang ketika Ia telah selesai membereskan alat tulisnya, namun tiba-tiba saja Dika mengajaknya untuk mengobrol.

“Ra, di sekolah lu pelajaran matematikanya sampai bab apa?”
“Gatau, seinget gue udah ngelewatin Integral deh”
“Oh...”

Ara tiba-tiba ingat bahwa Ia kesusahan mempelajari materi Corel Draw di sekolahnya, dan Ara rasa, Dika bisa membantunya mengerti.

“Eh, ngomong-ngomong lu bisa ngajarin gue Corel Draw gak? Pelajaran komputer di sekolah gue lagi bahas itu. Di sekolah lu juga kan? Gue bawa notebook gue nih, minta tolong ajarin ya”

Ara mengeluarkan notebook yang berada di dalam tasnya. Menyalakannya lalu membuka aplikasi Corel Draw. Lalu Ara menyodorkan notebooknya ke Dika untuk mengajarinya. Entah, Ara bukannya memperhatikan gerakan tangan Dika, namun justru memperhatikan Dika, tepatnya wajah Dika.

“Ra, udah ngerti kan?” Sapaan Dika membuyarkan lamunan Ara.
“Ah? Oh iya udah kok. Makasih”

Ara berpura-pura mengerti padahal Ara tidak mengerti apa yang Dika tunjukkan sedari tadi. Akhirnya mereka bergegas membereskan peralatan mereka yang berserakan di meja mereka. Butuh waktu sekitar lima menit dan akhirnya mereka pun keluar dari ruangan tempat mereka konsul.

Ada yang aneh. Saat kali ini Ara melihat sosok itu berjalan membelakanginya, Ara merasa aneh. Ara merasa ada sesuatu di hatinya. Tapi Ara coba menepis itu dan lalu Ia pun bergegas keluar dari tempat lesnya.

Sesampainya di rumah, Ara merasa sepi,  Ara tiba-tiba saja teringat akan Dika. Ara meraih ponselnya, mencari nama Dika di kontaknya, lalu mencoba mengetik pesan singkat. Namun Ara menghapusnya lagi, Ara merasa pesan singkatnya tidak menarik untuk dibalas. Ara merasa tidak bisa membuat kalimat sapaan yang menarik sehingga Dika berkenan membalas pesan singkat Ara. Jadi Ara mengurungkan niatnya untuk mengirim pesan singkat ke Dika.

Ara lalu membuka tas yang Ia gunakan untuk les tadi sore. Dan Ara melihat ada sesuatu yang bukan miliknya berada di dalam tasnya.

Kartu Peserta Ujian Tengah Semester milik Dika Ardiansyah

Kontan Ara pun mengirim pesan singkat ke Dika, memberitahu bahwa Kartu Persertanya terbawa oleh Ara. “Dika tidak akan bisa mengikuti Ujian di sekolahnya tanpa kartu ini! “ Pikir Ara cemas. Di satu sisi lain, Ara merasa senang karena Ia bisa membuat alasan untuk mengirim pesan singkat ke Dika. Tak lama kemudian Ara menerima balasan dari Dika

“Titip aja ke temen sekolah gue yang tinggal di deket rumah lu. Gampang kan?”

Ara bergegas pergi ke rumah tetangganya yang satu sekolah dengan Dika. Ara pun memberitahu bahwa Ia sudah menitipkan kartu ujian Dika ke tetangga Ara. Dan dengan singkat, Dika hanya membalas

“Ok”

Ada semburat wajah kecewa di wajah Ara karena Dika hanya membalas pesannya dengan amat singkat. “Apa gue udah suka sama Dika?” Pikir Ara. Namun Ara menepis keras pikiran itu. “Kalo memang gue suka sama Dika, apa sih yang gue suka dari Dika? Aneh, cuek, sok tahu. Ga mungkin gue suka sama Dika!!!” Hati dan otak Ara berdebat. Merasa lelah, Ara pun memilih untuk bergegas membereskan buku pelajaran yang ada di jadwal belajar sekolahnya esok hari dan lalu pergi tidur.

**********
Esoknya, setelah pulang sekolah, Ara bergegas pergi menuju ke tempat lesnya. Jadwal les hari ini Biologi.  Jam masuk les adalah jam 4 dan Ara telah tiba di tempat lesnya sekitar jam setengah 4. Ara memutuskan menunggu di kelas yang nantinya akan menjadi tempat belajarnya setengah jam lagi. Ruangan kelas bernuansa putih biru, berukuran tidak terlalu besar. Ara mengambil posisi di paling belakang karena mood Ara untuk belajar hari tidak terlalu besar. Ruang kelas itu sangat sunyi karena memang baru Ara saja yang datang.

Ara telah mendengarkan lagu di ponselnya selama setengah jam untuk membunuh waktu. Bel pertanda masuk kelas pun berbunyi. Selama setengah jam Ara mendengarkan lagu di ponselnya, teman-teman Ara yang lain telah berdatangan. Dan tepat semenit setelah bel masuk kelas, guru Biologi di tempat les Ara pun masuk ke kelas Ara.

Pelajaran telah berlangsung sekitar 10 menit ketika tiba-tiba saja pintu kelas itu terbuka. Ara menoleh ke arah pintu yang berada di bagian belakang Ara. Dan.....

Ternyata Dika.

Dika masih mengenakan pakaian seragamnya lengkap dengan tas sekolahnya. Tanpa menoleh ke arah Ara yang diam-diam memperhatikan langkah Dika, Dika memilih meletakkan tasnya di sebelah bangku Ara. Dika memilih duduk di sebelah Ara. Jantung Ara berdegup kencang, ada perasaan senang yang meletup pelan-pelan timbul di hati Ara ketika Dika berada tepat di samping Ara. Perasaan ini....... Akhirnya Ara sadar bahwa Ia telah ‘jatuh’ dan tak bisa menepis, apalagi membohongi kata hatinya.

“Udah lama, Ra mulai kelasnya?” Tanya Dika.

********* SELESAI *********

Monday 25 June 2012

#Cerpen 4 : The End


“Aku mau nyoba semua dari awal lagi, Ra”
“Bener? Aku kangen kamu banget, Ka. Makasih ya sayang”
Senyum bahagia mengembang dari bibir Ara, bayangkan saja. Ara sudah menunggu waktu ini selama hampir dua bulan. Namun senyum Ara tak lama bertahan.
“Iya aku mau nyoba dari awal.. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku udah ga ada perasaan apa-apa sama kamu. Lagi juga kan nantinya kita bakalan pisah”
“Ga usah dipaksa. Ngapain sih, Ka pake ngomong kayak tadi?”
Genggaman tangan Dika sekarang terasa menyakitkan bagi Ara....


Jakarta, 25 Juni 2012. Pukul 22:00 di kamar Ara.

Ara terpaku di sudut kamarnya. Mencari kesibukan dengan laptopnya untuk menutupi rasa sakit yang amat sangat karena kejadian tadi sore. Ara kecewa. Ara kecewa mengapa lagi-lagi harapan palsu yang Ara dapatkan.

Ketegaran yang Ara bangun susah payah sedari tadi akhirnya runtuh. Ara mencoba untuk tidak menangis sedari tadi. Tapi mungkin ada baiknya sakit ini diluapkan lewat tangis, pikir Ara. Ara menangis sejadi-jadinya di sudut kamarnya. Ara telah bertahan selama kurang lebih tujuh bulan. Tujuh bulan Ara terpaku di sosok itu. Dika. Dan mungkin ini akhirnya. Setelah apa yang Ara telah lakukan untuk Dika....

Waktu yang telah Ara berikan untuk Dika, sekedar untuk mengobati kangen Ara terhadap Dika. 
Perhatian yang Ara berikan untuk Dika, meski tak pernah Ara dapat timbal baliknya.
Semangat yang Ara berikan untuk Dika, ketika Dika datang dan butuh.

Ara selalu ada untuk Dika. Dan semua yang Ara telah berikan sekarang telah menemui hasilnya, Ara telah memetiknya.

Layu. Hasil yang Ara petik ternyata layu. Tak seperti yang Ara harapkan. Walaupun begitu, Ara puas. Ini hasil yang telah dia tanam sendiri, dari hatinya, bukan atas paksaan. Ara menunggu Dika karena memang Ara yang menginginkannya.

Ara melirik ponselnya, nampak pesan-pesan dari Dika. Ara bukannya tak ingin membalas, hanya saja Ara bingung kalimat apa yang harus Ara kirimkan sebagai balasan pesan dari Dika. Ara belum tertidur ketika Dika mengucapkan rentetan kalimat maaf dan selamat tidur. Bagaimana bisa Ara tidur tenang?



“Aranya kangen Dika, Aranya sayang sama Dika.....”

Wednesday 20 June 2012

#Cerpen 3

Raga itu...
Raut wajah teduh itu...
Senyum itu...
Dia berada di sampingku, setelah lumayan lama aku menanti waktu tadi datang. Tepat sekitar 12 jam yang lalu. 

Aku diam terpaku saat perjalanan. Tak tahu harus memulai pembicaraan tentang apa. Aku hanya dapat membunuh waktu dengan iseng melihat pantulan raut wajahku di helm hitamnya dan memandangi raganya dari sisi belakang. Berharap ada sepatah dua kata darinya yang dapat memecah keheningan ini. Namun aku buang pikiran itu. Ya, tentu saja karena dia sedang fokus mengendarai sepeda motornya.

"Hampir dua bulan aku tak melihat raga ini, Tuhan.. " 

Dan akhirnya.. Sampai di tempat tujuan kami. Kini aku dapat melihat utuh raga itu berdiri tepat di depanku. Dia memarkir sepeda motornya. Lalu kami berjalan melintasi parkiran, memesan makanan, dan memilih tempat duduk di ujung ruangan tempat makan itu. Aku bersyukur posisi duduk kami bersebrangan, sehingga aku dapat mencuri-curi pandangan untuk sekedar melihat raut mukanya tanpa dia sadar.

Aku memandangi raga itu dengan seksama ketika dia asik melahap pesanannya. Dia memakai jaket hitam yang terlihat kebesaran menurutku. Di dalam jaket itu tersembul kerah putih, lalu terlihat pula Ia mengenakan celana seragam SMAnya. Rambut yang acak-acakan namun masih terlihat rapi. Mata teduh itu dan senyum itu. 

Pandangan ku pun lalu harus aku hentikan ketika Ia memulai pembicaraan. Ia mulai berbicara tentang hal yang dia ingin pinta tolongkan padaku semalam. Lalu aku mulai melakukannya. Setelah selesai, kita mulai berbagi cerita tentang tes masuk kuliah belum lama ini. Lalu Ia berbagi ceritanya selama Ia pergi kemarin. Aku menyimak detail ceritanya, menyimak setiap suaranya, menyimak setiap tawanya, menyimak gerakan tubuhnya, menyimak gerakan tangannya yang lucu ketika Ia mengelap bibirnya. Semua aku perhatikan dengan seksama. 

Bahagia terasa sederhana ketika aku bisa melakukan kegiatan itu.

Bahagiaku pun terhenti saat dia mengajakku pulang. Ada perasaan sedih ketika waktu terasa cepat. Aku masih ingin menikmati raga itu, Tuhan. Namun aku tak bisa mengelak. Aku mengiyakan perkataannya dan lantas membereskan peralatanku yang berserakan di meja makan kami. 

Tepat 12 jam. Kini aku berada di tempat tidurku. Gelisah memiringkan badanku kesana kemari untuk mendapakan posisi yang nyaman. Namun aku tak juga menemukan posisi nyaman itu. Aku mencoba membohongi perasaanku kalau aku baik-baik saja walaupun tanpa pesan dari dia di ponselku malam ini yang sebenarnya aku sangat nantikan. Aku terus-terusan mencoba..


Namun aku tetap saja merasa gelisah.. Aku nyatanya masih menunggu pesan singkat darinya..

Tuhan, aku kangen kata 'kita' yang dulu.....

Tepat 12 jam. Dan kini aku beranjak bangun dari tempat tidurku. Merasa usahaku untuk tidur adalah sia-sia ketika aku belum menumpahkan perasaan ini. Sepinya malam mendukungku untuk menumpahkan perasaanku lewat air mata. Sejenak.... Perih itu ada, Tuhan. Dan setelah aku rasa cukup, aku pergi kembali ke tempat tidurku. Merangkul perasaan perih yang masih tersisa lewat tangis tadi. Ada bisikan yang terdengar saat aku coba memejamkan mata ini dengan perlahan.

"Dia hanya akan datang ketika Ia butuh. Urusannya denganmu telah selesai lantas Ia akan pergi. Rindumu tak akan perah terbalas. Rindu itu terkirim tanpa pernah ada balasan. Dan kamu masih menanti balasan? Bodoh"



Jakarta, saat tengah malam di kamarku.